Tempe merupakan salah satu olahan kedelai tradisional yang berasal dari Indonesia. Jenis makanan ini secara tidak sengaja ditemukan dari by-product industri tahu di jawa yang terkena spora jamur putih (edible) pada abad ke-17 (Isnaeni, 2014). Makanan pokok yang mengandung banyak protein ini dibuat dengan proses fermentasi oleh kultur kapang yang terkontrol. Sama halnya seperti tahu, bahan dasar tempe adalah biji kedelai. Fermentasi tersebut mengikat biji kedelai sehingga berbentuk seperti kue. Berbeda dengan whole bean, tempe memiliki kandungan protein, serat pangan, dan vitamin yang lebih tinggi serta tekstur yang kuat dan earthy flavor akibat proses fermentasi dan penyimpannanya.
Produksi tempe dimulai dengan pelunakan biji kedelai melalui perendaman, penghilangan lapisan pembungkus biji menjadi bungkil, dan pemasakan parsial. Senyawa asam lemah seperti vinegar kemudian ditambahkan untuk menurunkan pH, sehingga menciptakan lingkungan yang optimal untuk jamur tempe dan menghambat pertumbuhan organisme kompetitor. Selanjutnya, starter fermentasi yang mengandung spora jamur Rhizopus oligosporus atau Rhizopus oryzae ditambahkan. Terakhir adonan di sebar pada suatu pelapis tipis dan dibiarkan terfermentasi selama 24 sampai 36 jam pada temperatur sekitar 30℃. Tempe yang bagus akan terbentuk jika biji kedelai terajut bersama dengan miselium putih dari jamur. Sebagai akibat dari proses fermentasi, karbohidrat yang terdapat dalam tempe menjadi lebih mudah tercerna. Pada tempe yang dibuat secara tradisonal, kultur starter biasanya mengandung bakteri yang memproduksi vitamin seperti B12 dengan bioaviabilitas cukup tinggi. Selain itu, proses fermentasi juga mengurangi kandungan asam fitat dalam kedelai, sehingga dapat memungkinkan tubuh untuk menyerap mineral yang terdapat dalam kedelai dengan mudah (Rose, 2011). Tempe biasanya disajikan dengan digoreng, direbus, atau sebagai salah satu komponen sup yang masuk dalam menu favorit makanan rumahan orang Indonesia.
Sebagai makanan, tempe di ingesti melalui mulut kemudian dilanjutkan dengan proses digesti, absorpsi, dan defekasi melaui saluran gastrointestinal. Saluran gastrointestinal atau gut adalah salah satu sistem organ pada manusia dan hewan. Sistem ini mengambil dan mencerna makanan untuk diekstrak dan diserap nutrisi dan energinya serta mengeluarkan sisanya dalam bentuk feses. Saluran gastrointestinal pada manusia terdiri dari esophagus, lambung, dan usus serta organ aksesorisnya seperti lidah, kelenjar saliva, pankreas, hati, dan kelenjar empedu. Pada bagian bawah saluran gastrointestinal khususnya usus halus dan usus besar terdapat ribuan jenis bakteri yang merupakan gut flora. Bakteri ini memainkan peranan penting pada sistem imun dari saluran gastrointestinal. Sistem imun ini berfungsi untuk mencegah adanya pathogen yang memasuki saluran limfa dan peredaran darah melalui permukanan gastrointestinal (zimmer, 2011).
Komposisi gut microbiota sangat bervariasi dalam tubuh. Dalam usus besar, jumlah populasinya sangat padat hingga mampu mencapai 1012 sel setiap gram intestinal content. Sebagai kosekuensi tingginya konsentrasinya dalam usus, 60% dry mass dari feses dapat terbentuk dari gut microbiota (Guarner dan Malagelada, 2003). Fakta ini menyebabkan feses menjadi sumber ideal untuk pengujian dan eksperimen mengenai gut microbiota dengan mengekstraksi asam nukleat dari feses spesimen. Dari ribuan jenis bakteri yang ada, ada empat filum bakteri yang mendominasi gut microbiota yaitu, Fermicutes, Bacteriodetes, Actinobacteria, dan Proteobacteria. Gut microbiota ini akan mendominasi usus manusia pada tahun pertama atau kedua setelah kelahiran manusia. Bertepatan pada waktu itu, epitel usus dan mukosa penghalang pada usus mensekresikan senyawa pertahanan tubuh yang toleran dan saling mendukung dengan gut microbiota (Khana, et al., 2014). Pada bayi, persentase Fermicutes, Bacteriodetes, dan beberapa phylum lainnya hampir sama. Seiring bertambahnya usia Fermicutes dan Bacteriodetes akan mendominasi, sedangkan pada ibu hamil variasinya jauh lebih banyak. Hubungan antara gut microbiota dengan manusia bukanlah komensialisme melainkan mutualisme. Beberapa jenis gut microbiota memberikan keuntungan bagi inanganya dengan memfermentasi serat pangan menjadi asam lemak berantai pendek (SCAFs), seperti asam asetat dan asam butirat. Asam lemak rantai pendek ini akan dilepaskan dan menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam nilai pH. Manfaat pH yang lebih rendah dalam usus adalah penghambatan umum dari beberapa patogen. Selain itu, gut microbiota juga mensintesis vitamin khususnya vitamin B dan K yang dapat digunakan oleh inangnya (Clark, et al., 2014). Oleh karena itu, berbagai negara berusaha untuk meningkatkan asupan serat makanan yang direkomendasikan dalam upaya pencegahan beberapa macam.
Kompsisi gut microbiota berubah-ubah sepanjang waktu seiring dengan perubahan jenis diet dan kesehatan inanganya. Studi dan analisis statstik telah mengidentifikasi filum bakteri yang terdapat pada gut microbiota berasosiasi dengan nutrisi yang di konsumsi oleh inanganya. Gut microbiota pada orang-orang dengan latar belakang geografi yang berbeda juga memeliki variasi yang berbeda. Misalnya, orang Amerika dengan orang Asia memiliki persentase Fermicutes yang berbeda akibat jenis diet yang sering dikonsumsi kedua wilayah ini berbeda. Anak-anak yang mengalami malnutrisi memliki gut microbiota yang tidak terlalu bervariasi dan kurang matang. Selain itu, anak-anak yang mengalami malnutrisi juga memiliki gut flora pathogen dan yeast pada mulut dan tenggorokan lebih banyak dibandingkan manusia normal (Daisy, 2016). Sehingga komposisi gut microbiota dapat dijadikan tolak ukur kesehatan usus atau inangnya.
Studi terbaru menunjukkan bahwa orang gemuk dan kurus memiliki gut microbiota yang berbeda. hal ini menunjukan adanya hubungan antara komposisi gut microbiota dengan kondisi fisik inangnya. Studi komparatif menggunakan sekuens 16S rRNA telah menunjukkan bahwa mikrobiota usus pada tikus dan manusia sangat mirip dalam komposisi pada tingkat divisi (yaitu, = 80% dari tikus dan mikrobiota manusia didominasi oleh dua filum, Firmicutes dan Bacteroidetes) (Soka, et al, 2014). Sehingga dapat menunjukan nilai akurasi yang tinggi jika digunakan sebagai sampel percobaan terkait dengan gut microbiota pada manusia. Gut microbiota pada tikus gemuk dan manusia yang mengalami obesitas cenderung mengandung lebih banyak Firmicutes. Sedangkan pada tikus dan manusia normal memiliki gut microbiota yang didominasi oleh Bacteroidetes. Hal ini mengimplikasikan bahwa usus yang sehat cenderung mengandung Bacteroidetes yang lebih tinggi (Soka, et al, 2014). Pada percobaan sebelumnya, rasio yang lebih rendah dari Firmicutes dibandingkan Bacteroidetes setelah suplementasi tempe menunjukkan bahwa tempe dapat menjadi strategi baru yang berdampak positif terhadap kesehatan manusia. Bacteroidetes dapat menstimulasi aktivasi respons yang diperantarai sel-T dan membatasi kolonisasi saluran gastrointestinal oleh bakteri patogen. Bacteroidetes biasanya menghasilkan asam butirat yang terbukti memiliki sifat antineoplastik dan peran dalam menjaga usus yang sehat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tempe mungkin memodulasi komposisi mikrobiota usus dan mengubahnya menjadi pattern yang lebih sehat (penghalang pertahanan usus, perkembangan kekebalan tubuh dan pemanfaatan nutrisi). Namun, berbagai jenis tempe dapat menawarkan manfaat kesehatan yang bervariasi karena komposisi mikroorganisme fermentor memainkan peran penting selama proses fermentasi.
Daftar Pustaka
Clark, G., Roman, M., S., Paul, J., K., Stanton, C., and Timothy, D., 2014. Minireview: Gut Microbiota, the Neglected Endocrine Organ. Molecular Endocrinology. p. 28(8): 1221–38.
Daisy, J. 2016. Microbial Perturbations and Modulation in Conditions Associated with Malnutrition and Malabsorption. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology. p. 30 (2): 161–72.
Guarner, F., and Malagelada, J. 2003. Gut Flora in Health and Disease. The Lancet. 361 (9356): 512–19.
Isnaeni, H., F. 2014. Sejarah Tempe di Indonesia. https://historia.id/kuliner/sejarah-tempe diakses pada tanggal 18 Juni 2018.
Khana, Sahil, Tosh, and Pritish, K. 2014. A Clinician’s Primer on the Role of the Microbiome in Human Health and Disease. Mayo Clinic Proceeding. p. 89(1): 107–14.
Kitchen Remedies for Phytic Acid. http://www.rebuild-from-depression.com/blog/2007/12/soy_and_phytic_acid_stick_with.html diakses pada tanggal 18 Juni 2018.
Rose, A. 2011. Reducing Phytic Acid in Your food: A Visual Analysis of the Research on Home
Soka, S., Suwanto, A., Sajuthi, D, dan Rusmana, I. 2014. Impact of Tempeh Supplementation on Gut Microbiota Composition in Sprague-Dawley Rats. Journal of Microbiology. 9 (4): 189-198.
Zimmer. 2011. Bacterial Ecosystem Divide People Into 3 Groups, Scientist Say. The New York Times. P.17.
Kelompok D:
Karina Kalasanza / 02320171007
Vero Nobellenskvia / 02320171014
Kadek Agus Prabawa / 02320171025
Terima kasih Karina, Vero, dan Prabawa atas artikel inovatif,
pasti sekarang nextgeners jadi tahu dengan istilah Gut Microbiota kan,
bagaimana peranannya dalam tubuh manusia.
kalau begitu STEM-Z dan nextgeners lainnya menunggu artikel berikutnya dari kalian
ya