Oleh Rike Tri Kumala Dewi, M.Si
Setelah dikejutkan dengan berita beras plastik, beberapa pekan lalu masyarakat dikejutkan kembali dengan berita telur palsu. Berita tersebut beredar melalui video yang tersebar di berbagai media yang memperlihatkan kejanggalan pada kuning telur berupa tekstur yang lebih kenyal dan tidak mudah pecah. Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian sampai mengonfirmasi bahwa tidak ada telur palsu karena sebetulnya kuning telur yang kenyal menunjukkan kualitas telur yang baik.
Terlepas dari benar atau tidaknya, kasus diatas merupakan contoh dari misdeskripsi suatu bahan/produk pangan yang banyak terjadi di kalangan masyarakat. Menurut Food Standard Agency, UK, paling tidak ada empat cara suatu bahan/produk pangan dikatakan misdeskripsi: 1. Substitusi bahan oleh bahan sejenis yang lebih murah (Abstraction), misalnya pengoplosan daging sapi dengan daging babi yang relatif lebih murah, 2. Pemalsuan bahan pangan (Adulteration), misalnya beras varietas Ciherang yang diganti dengan beras varietas lainnya yang secara superfisial terlihat mirip, 3. Pernyataan berlebihan mengenai kuantitas bahan pangan (Over-declaring), misalnya minuman mengandung 70% konsentrat sari buah nyatanya hanya 10%, dan 4. Tidak ada pernyataan mengenai pemrosesaan bahan pangan (Non-declaration), misalnya proses iradiasi atau pembekuan pada bahan pangan.
Gambar 1. Menganalisis otentikasi daging sapi
Beredarnya isu telur palsu termasuk adulteration yang harus diinvestigasi sampai mendapat suatu kesimpulan yang sah. Investigasi tersebut dinamakan forensik pangan (food forensic). Berbeda dengan forensik kedokteran yang objektifnya adalah mencari identitas personalia dari victim, objektif pada forensik pangan adalah mencari otentikasi dari bahan/produk pangan yang diduga bermasalah─meskipun sebenarnya forensik pangan tidak selalu diidentikkan dengan otentikasi, terkadang bisa juga dilakukan untuk mengetahui sumber kontaminasi─ Investigasi ini dilakukan dengan berbagai teknik mulai dari yang sederhana hingga yang mutakhir.
Murugaiah et al. (2015) menjelaskan penggunaan teknik DNA fingerprinting untuk melakukan forensik pangan, seperti FINS (Forensically Informative Nucleotide Sequencing), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), SSCP (Single-Strand Conformational Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), LP-RAPD (Long-Primer Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Semua teknik tersebut pada dasarnya menggunakan prinsip PCR (Polymerase Chain Reaction) yang bertujuan sama, yaitu untuk mendapatkan fragmen DNA dari sampel bahan pangan yang nantinya disejajarkan dengan sampel pembanding─untuk kasus telur palsu misalnya adalah DNA telur ayam─sehingga diketahui otentikasi dari bahan/produk pangan tersebut.
Gambar 2. Ilustrasi analisis DNA fingerprint
Penggunaan DNA Fingerprinting ini sangat menguntungkan karena DNA adalah molekul yang stabil meskipun telah mengalami pemrosesan. Setelah bahan pangan disterilisasi (pada autoklaf) yang bersuhu 121◦C, DNA bahan pangan tersebut akan masih utuh meskipun terfragmentasi menjadi 300-400 pasang basa sehingga dapat dengan mudah dianalisis otentikasinya. Sebenarnya metode ini telah ditemukan sejak 25 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1994, Meyer. melakukan analisis forensik pangan dengan metode RFLP untuk mendeteksi keberadaan daging babi pada daging sapi yang telah mengalami pemrosesan (pemasakan). Pada metode RFLP, gen yang dikode adalah sitokrom b yang terdapat pada DNA mitokondria. Penggunaan DNA mitokondria diketahui menunjukkan hasil yang lebih akurat dibandingkan DNA nuklear karena DNA mitokondria lebih banyak memiliki region multiplikasi dan juga lebih stabil sehingga sehingga mudah sekali pendeteksiannya. Metode ini sudah sangat umum digunakan untuk mengetahui otentikasi bahan/produk pangan, pun dengan kasus telur palsu. Namun, gen sitokrom b DNA mitokondria hanya dapat dilakukan untuk mendeteksi bahan pangan berbasis jaringan hewan (animal-food base).
Pada tahun 2004, Primrose et al, menemukan metode baru yang dinamakan TaqMan(R) assay, yaitu deteksi SNPs menggunakan penanda (probe) yang dilabeli secara fluoresens. Proses pengerjaan teknik ini lebih cepat dibandingkan teknik sebelumnya. Selain menggunakan DNA fingerprinting, otentikasi juga dapat dilakukan dengan melakukan kuantifikasi jaringan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Hal ini yang dilakukan Walker et al. pada tahun 2003, namun penggunaan HPLC ini sangat restriktif.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa mengetahui otentikasi suatu bahan/produk pangan sangat penting bagi masyarakat. Masyarakat selaku konsumen membutuhkan informasi yang jelas dan akurat sebagai pilihan diet yang mereka beli. Terlebih lagi, ada masyarakat yang mempertimbangkan agama, gaya hidup, atau masalah kesehatan sebagai pilihan dietnya. Adanya misdeksripsi bahan/produk pangan sangat meresahkan sehingga perlu dilakukan investigasi, salah satunya dengan tes forensik. Tes forensik adalah investigasi yang tidak hanya berperan di bidang kedokteran, tetapi juga di bidang pangan (food forensic) untuk mengatahui otentikasinya. Seorang ahli teknologi pangan, paling tidak memiliki satu kemampuan tersebut.
Referensi:
Meyer R. 1994. Detection of pork in heated meat products by polymerase chain reaction. J AAOAC Int. 77: 617-622
Murugaiah C, Al-Talib H, Radu S. 2015. Forensics: Food authentication using mitrocondrial DNA. J nutritional healths and food sci 3(4) 1-10
Primrose S, Woolfe M. 2004. Food forensic: using DNA tcehnology to combat misdescription and fraud. Trends in Biotechnology 22 (5): 1-6
Walker JA, Hughes DA, Anders BA. 2003. Quantitative intra-short interspersed element PCR for species DNA identification. Anal Biochem 316(2): 259-269
Artikel ini pertama kali pertama kali ditayangkan di stem.prasetiyamulya.ac.id