*image source: http://www.japantimes.co.jp
Jepang menuju “Hydrogen Society”
Setelah terjadinya musibah gempa bumi besar di bagian timur Jepang pada tahun 2011 yang merusak salah satu pembangkit listrik nuklir utama Jepang di Fukushima, hampir seluruh pembangkit listrik tenaga nuklir di Jepang dihentikan operasinya. Untuk menggantikan tenaga nuklir, Jepang kembali beralih ke energi tidak terbarukan (minyak bumi, batu bara dan gas), sehingga konsumsi energi tidak terbarukan meningkat drastis (lihat Gambar 1).
Gambar 1 Rasio konsumsi jenis energy di Jepang sebelum dan sesudah terjadinya gempa bumi besar 2011 (Sumber : Japan Agency for Natural Resources and Energy)
Hampir semua energi tidak terbarukan di Jepang adalah hasil impor dari negara lain. Penggunaan energi tidak terbarukan ini tidak hanya memperbesar pengeluaran negara tetapi jugameningkatkan emisi CO2. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, sejak tahun 2015 pemerintah Jepang mencanangkan kebijakan Hydrogen Society yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2040-2050. Kebjiakan ini bertujuan mendorong penggunaan hidrogen yang dihasilkan dari energi terbarukan sebagai sumber energi utama penduduk Jepang. Hidrogen sendiri adalah satu jenis energi bersih yang ramah lingkungan. Penggunaan hidrogen sebagai sumber energi hanya menghasilkan air sebagai produk samping, tidak menghasilkan senyawa beracun/berbahaya seperti pada penggunaan minyak bumi atau batubara. Pada fase pertama dari kebijakan ini adalah meneruskan program pengembangan fuel cell yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, seperti meningkatkan penggunaan fuel cell di rumah rumah masyarakat, mengembangkan kendaraan berbasis fuel cell dan juga menambah jumlah stationary fuel cells, serta berusaha untuk menurunkan biaya pembuatan fuel cell. Pada Desember 2014, Toyota merilis mobil fuel cell pertama mereka yang diberi nama Mirai. Sampai dengan Mei 2016, Toyota mengklaim telah mendapatkan 3500 order untuk Mirai dan sekitar 573 mobil Mirai telah digunakan oleh masyarakat. Selain Toyota, Honda juga merilis jenis mobil fuel cell terbaru mereka yang diberi nama “Claritiy Fuel Cell”. Selain itu pemerintah Jepang menargetkan pembangunan 100 hydrogen refueling station (HRS). Sayangnya target ini sedikit meleset, sampai dengan Mei 2016, baru sekitar 80 HRS yang berhasil dibangun di seluruh Jepang, dimana 20 diantaranya adalah mobile station.
Pada fase kedua ditargetkan pada tahun 2030 Jepang bisa mengembangkan pembangkit listrik skala besar dengan menggunakan hidrogen yang diproduksi dari “unused energy” seperti lignite (jenis batu bara yang nilai kalorinya sangat rendah). Produksi hidrogen dari batubara dengan menggunakan sistes gasifikasi masih menghasilkan produk sampingan senyawa berbahaya seperti CO2 dan CO. Sehingga di fase ketiga yang ditargetkan pada tahun 2040-2050 Jepang sudah menggunakan hidrogen yang dihasilkan sepenuhnya dari energi terbarukan seperti produksi hidrogen menggunakan metode elektrolisa air, dimana listrik yang dibutuhkan dalam proses elektrolisa didapatkan dari panel surya (solar cell) atau energi angin.
Pada Olimpiade 2020 di Tokyo yang akan datang, pemerintah Jepang telah menargetkan untuk menunjukan perkembangan dari program “Japan Hydrogen Society”. Mereka berencana menyiapkan kurang lebih 100 fuel cell bis yang akan mengangkut para atlet dari hotel menuju tempat pertandingan. Selain itu asrama atlet dan juga media center akan menggunakan teknologi fuel cell sebagai sumber energi.
Menarik untuk ditunggu apakah pemerintah Jepang bisa merealisasikan proyek “Hydrogen Society”. Yang pasti proyek ini semakin menunjukan bahwa renewable energy & clean energy bukan lagi sebuah alternatif pilihan energi, tapi sudah merupakan sebuah kebutuhan.
Author: Fidelis Stefanus, FM Energy Engineering