Keterbatasan manusia dalam menentukan masa depan atau memprediksi apa yang akan terjadi membuat manusia itu sendiri melakukan banyak persiapan dan tindakan antisipasi dalam menghadapi semua kemungkinan peristiwa yang akan terjadi. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia untuk bertahan hidup. Prinsip ini sudah dipraktekkan sejak manusia memulai kehidupannya di awal sejarah peradaban. Salah satu riwayat mengenai ini tercantum dalam beberapa kitab suci yang menceritakan tentang seorang Raja di Negeri Mesir yang hidup pada zaman Nabi Yusuf A.S. Raja tersebut bermimpi melihat tujuh ekor sapi kurus masing-masing menelan seekor sapi gemuk. Raja itu juga bermimpi tujuh butir gandum yang berat dan berisi habis dimakan oleh tujuh butir gandum kosong. Tafsiran dari mimpi-mimpi tersebut membuat Nabi Yusuf A.S. menyarankan agar pada saat panen yang melimpah nanti sebagian hasil panen dijadikan cadangan untuk persiapan masa paceklik yang akan datang.
Masa paceklik, ketidakpastian cuaca buruk, kehilangan barang-barang selama di perjalanan, perampokan, pembajakan dan perompakan adalah beberapa bentuk dari risiko yang sering dihadapi manusia-manusia zaman dahulu. Pedagang-pedagang dari Cina dan Babilonia sekitar tahun 3000 dan 2000 SM harus melakukan perjalanan jauh yang penuh bahaya dan berisiko dalam menyebarkan barang dagangannya. Salah satu tindakan antisipasi mereka adalah mengirimkan barang dagangan menggunakan beberapa unit kapal untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko jika dilakukan pengiriman dengan menggunakan satu kapal saja yang memuat semua barang.
Usaha lain yang dilakukan untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut adalah dengan mengalihkannya ke pihak lain. Praktek pengalihan risiko ke pihak lain dilakukan dalam bentuk bottomry contract. Praktek ini telah dikembangkan oleh bangsa Babilonia pada tahun 2.250 SM khususnya para pedagang yang melakukan pelayaran. Pada waktu itu, pedagang atau pemilik kapal dapat mengambil barang-barang dagangan untuk dijual ke tempat-tempat lain tanpa membayar harga barang tersebut terlebih dahulu, namun mereka diwajibkan untuk membayarnya nanti dengan pembayaran bunga dan ditambah sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul oleh pemberi barang. Jika ternyata barang-barang tersebut dirampok dalam perjalanan atau hilang di lautan, maka para pedagang akan dibebaskan dari kewajiban tersebut. Praktek pengalihan risiko ini juga tercatat dalam Kode Hammurabi, pada tahun 1.750 SM. Praktek bottomry contract juga dikenal di India sejak 600 SM. Bahkan di Yunani pun sejak tahun 400 SM juga telah mengenal praktek tersebut.
Praktek bottomry contract inilah yang kemudian menjadi awal terbentuknya asuransi. Pada masa itu seorang pemilik kapal atau pedagang melakukan proses bottomry contract dengan cara meminjam uang sebagai jaminan atas lambung kapal yang berisi barang muatan. Kapal akan digadaikan pada pihak pemberi pinjaman jika uang beserta bunganya tidak terbayarkan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Pada tahun 215 SM pemerintah Kerajaan Romawi juga menerapkan sebuah konsepsi pemberian perlindungan kepada pemasok perlengkapan dan perbekalan tentara kerajaan. Mereka meminta Kerajaan Romawi menjamin perlindungan atas segala risiko kerugian yang mungkin diderita selama pengangkutan kapal akibat bahaya maritim, seperti serangan perompak dan bajak laut atau disebabkan cuaca buruk.
Itulah beberapa jejak sejarah awal asuransi yang tercatat pada masa sebelum masehi. Praktek-praktek tersebut merupakan bentuk dari usaha manusia dalam mengantisipasi dan mengalihkan risiko kerugian. Praktek ini terus berkembang seiring zaman dan semakin canggih pada Abad Pencerahan Eropa, yaitu pada abad ke-18. Variasi jenis asuransi pun berkembang dan makin banyak, mulai dari Asuransi Umum sperti Asuransi Pengangkutan, Asuransi Kebakaran, Asuransi Kecelakaan Diri, Asuransi Tanggung Gugat dan Asuransi Jiwa.
Referensi :
Otoritas Jasa Keuangan. Perasuransian, Seri Literasi Keuangan Perguruan Tinggi. 2016.