Pastinya kamu familiar dengan suku Badui bukan? Mereka yang ikonik karena terisolir dari perkembangan modernisasi sering mendapat sorotan. Apa kamu pernah berkunjung ke sana? Sebagai salah satu desa wisata, suku yang berada di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak ini sering menjadi pilihan berwisata untuk membaur dengan alam.
Tak hanya menikmati Badui sebagai tempat wisata, peneliti dari Universitas Prasetiya Mulya mengeksplorasi kekayaan produk unggulan Badui. Rike Tri Kumala Dewi, M.Si., Fransisca Wijaya, M.P., dan Dwining Putri Elfriede, M.P. merupakan tim peneliti yang merupakan faculty member atau dosen di STEM Prasmul, khususnya program studi Food Business Technology (FBT).
Kenapa Gula Aren Badui?
Awal perjalanan panjang ketiga peneliti dimulai dari ketertarikan dengan pengembangan desa wisata suku Badui, khususnya Badui luar, dari aspek produk pangan. Gula aren badui dipilih karena belum banyak eksplorasi yang dilakukan, tidak seperti produk khas badui lainnya. Di sisi lain, ternyata Kabupaten Lebak merupakan penghasil gula aren tertinggi di Indonesia.
Disamping faktor daya tarik wisata dan potensi gula aren diteliti, sebagai oleh-oleh khas suku Badui gula aren juga memiliki kelebihan dari aspek kesehatan dibanding gula tebu. Hal ini dikarenakan beberapa hal, seperti kandungan mikronutrien, kandungan kalori, dan indeks glikemik. Gula aren memiliki kandungan mikronutrien khususnya mineral dan vitamin B.
Gula aren juga memiliki kalori dan indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan gula pasir, hal ini berkaitan dengan kenaikan gula darah setelah mengkonsumsi gula. Indeks glikemik yang rendah memberikan dampak kesehatan yang lebih baik karena tidak membuat gula darah naik secara signifikan.
Namun, sebagai oleh-oleh khas Badui, apakah gula aren ini telah memenuhi standar kualitas pada SNI? Apalagi produksi masih skala rumahan dengan campur tangan pengetahuan modern yang minim. Pembuktian kualitas ini memerlukan karakterisasi mutu dan juga aspek keamanan pangan. Hal inilah yang dikaji oleh Rike, Sisca, dan Wini yang juga dibantu oleh dua mahasiswa dalam proyek ini.
Karakteristik Mutu dan Keamanan Pangan Gula Aren Badui
Dari aspek keamanan pangan, diuji cemaran mikroba dan cemaran logam berat dari gula aren Badui. Pengujian tersebut menemukan hasil yang menakjubkan, pasalnya tidak ditemukan sama sekali cemaran mikroba, mikroba jenis berbahaya atau patogen juga tidak ditemukan. Padahal proses produksi masih sangat tradisional, namun hasil ini menunjukkan kualitas yang sangat baik.
Begitu pula dari aspek logam berat, tidak ditemukan cemaran. Kedua hasil ini memberitahu kita bahwa gula aren Badui sangat aman dikonsumsi. Lingkungan yang terjaga dan jauh dari daerah berpolusi menjadi salah satu faktor hasil yang menakjubkan ini.
Dari sisi mutu, peneliti mengkaji profil kimia dari gula aren Badui. Hasil yang diperoleh melalui pengujian laboratorium menunjukkan bahwa ada beberapa PR yang masih perlu dibenahi berdasarkan SNI. Salah satunya adalah kandungan sukrosa yang lebih tinggi dari standar SNI. Hal ini menyebabkan tekstur dari gula aren Badui lebih keras dibandingkan gula aren lainnya. Namun, aspek ini hanya berkaitan dengan mutu pangan, tidak pada keamanan gula aren ini untuk dikonsumsi.
Kisah Menarik Para Peneliti Saat Berkunjung ke Suku Badui
Dibalik kajian ilmiah dan hasil yang diperoleh, terdapat kisah menarik dari perjalanan panjang yang dilakukan peneliti. Tim peneliti datang langsung ke Desa Kanekes untuk menemui tempat produksi gula aren milik suku Badui Luar. Walaupun mengkaji aspek sains gula aren Badui, peneliti juga mengungkapkan pengetahuan tentang budaya dan sosial.
“Perjalanan untuk mencapai Badui Luar menguras banyak tenaga karena jauh di pedalaman dan naik turun gunung,” ungkap faculty member yang akrab disapa Bu Rike ini. Namun, perjalanan ini memberikan sensasi dan pengalaman bagi masing-masing peneliti. Mulai dari kesabaran untuk tidak terhubung dengan dunia maya, jauh dari modernisasi, tanpa shampoo ataupun sabun modern.
Ketakjuban mengenai kecerdasan orang suku Badui yang tidak mengenyam pendidikan formal juga menjadi sorotan. Walaupun tanpa pendidikan formal, orang suku badui belajar calistung (membaca, menulis, dan berhitung) dari para wisatawan. Peneliti berharap kajian mereka dapat berperan dalam pemajuan desa wisata Badui, terutama meyakinkan masyarakat untuk berkunjung dan membeli oleh-oleh khas Badui, seperti gula aren contohnya.